Mempermasalahkan ‘Greenflation’ di Eropa, Apakah Indonesia Terkena Dampaknya? Gibran Memberi Sorotan

Diposting pada

Jakarta – Calon wakil presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, mengungkapkan keprihatinannya terhadap masalah greenflation. Dalam debat cawapres yang digelar KPU pada Minggu malam (21/1/2024) di Jakarta Convention Center, anak sulung Presiden Joko Widodo ini bahkan mempertanyakan penanganan masalah tersebut kepada lawan debatnya.

Menurut Gibran, greenflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan, namun pasokannya tidak mencukupi. Istilah ini diilhami dari kasus yang terjadi di Prancis, dimana naiknya harga bahan bakar menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran.

“Greenflation atau inflasi hijau dapat menyebabkan kerusuhan seperti yang terjadi di Prancis, yang bahkan menelan korban jiwa. Kita harus sangat berhati-hati dalam melakukan transisi menuju energi hijau,” ujar Gibran.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa greenflation memang harus diantisipasi. Namun, ia menegaskan bahwa masalah ini baru akan muncul di Indonesia jika transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan belum dilakukan secara konsisten.

Andry juga mencontohkan beberapa negara Eropa yang telah menghadapi masalah greenflation karena fokus pada pengembangan ekonomi ramah lingkungan. Namun, ia menegaskan bahwa untuk saat ini, masalah ini belum akan terjadi di Indonesia karena kebijakan-kebijakan yang mendukung transisi energi baru belum diterapkan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga menyatakan bahwa greenflation baru akan terjadi di Indonesia dalam waktu puluhan tahun ke depan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya komitmen dalam melakukan transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan.

Berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional (DEN), realisasi bauran energi baru terbarukan di Indonesia baru mencapai 13,09%. Padahal, target yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional adalah sebesar 23% pada tahun 2025. Karena minimnya realisasi bauran EBT, target ini kini diturunkan menjadi kisaran 17-19%.

Untuk mengantisipasi potensi greenflation di Indonesia, Andry dan Bhima menyarankan untuk melakukan transisi energi secara bertahap dan konsisten. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan harga energi baru terus menurun seiring dengan pasokannya yang berlimpah, dan mengalahkan harga energi fosil. Selanjutnya, subsidi dan insentif untuk energi fosil dapat dicabut dan dialihkan ke energi baru terbarukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *