Jakarta – Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) menunjukkan bahwa perilaku makan masyarakat Indonesia masih jauh dari istilah “mindful eating” atau makan dengan penuh kesadaran.
Penelitian ini, yang dikenal dengan sebutan “Mindful Eating Study” (2024), melibatkan 1.158 responden dari 20 provinsi di seluruh Indonesia. Hasilnya, 47 persen atau 5 dari 10 orang Indonesia memiliki perilaku “emotional eating” (makan karena emosi).
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa usia di bawah 40 tahun memiliki risiko dua kali lipat untuk mengalami “emotional eating”. Selain itu, orang yang sedang menjalani proses diet juga memiliki risiko 2,5 kali lipat untuk mengalami perilaku tersebut. Bahkan, orang yang mengalami “emotional eating” juga berisiko mengalami stres dua kali lipat.
Apa itu “Emotional Eating”?
Menurut laman helpguide.org, “emotional eating” adalah perilaku menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi masalah emosional, bukan karena kebutuhan fisik. Orang yang mengalami “emotional eating” cenderung mencari kenyamanan, menghilangkan stres, atau memberi hadiah pada diri sendiri dengan mengonsumsi makanan yang tidak sehat, seperti makanan cepat saji dan makanan manis.
Namun, makan secara emosional tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, perilaku ini dapat membuat seseorang merasa lebih buruk. Selain masalah emosional yang masih ada, orang tersebut juga akan merasa bersalah karena makan berlebihan.
Rasa lapar emosional tidak dapat dipenuhi hanya dengan makanan. Meskipun makanan terasa enak pada saat itu, masalah emosional yang memicu perilaku tersebut masih ada. Akibatnya, seseorang akan merasa lebih buruk setelah makan berlebihan dan menyalahkan diri sendiri.
Perilaku “emotional eating” seringkali membutuhkan makanan tertentu yang dapat menenangkan diri, seperti makanan tidak sehat atau camilan manis. Hal ini juga dapat membuat seseorang makan tanpa berpikir terlebih dahulu.
Namun, perilaku ini harus diubah karena tidak hanya memberikan beban emosional, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan. Menurut laman hsph.harvard.edu, berikut adalah beberapa cara untuk mengatasi “emotional eating”:
1. Menghargai Makanan
Mulailah dengan mengetahui bagaimana makanan tersebut dibuat dan siapa yang membuatnya. Saat makan, hindari gangguan dan nikmati makanan secara penuh.
2. Melibatkan Semua Indra
Perhatikan suara, warna, bau, rasa, dan tekstur makanan serta perasaan yang muncul saat makan. Berhenti sejenak untuk mengaktifkan semua indra ini.
3. Makan dalam Porsi Sedang
Mengatur porsi makan dapat membantu Anda menghindari makan berlebihan dan menyisakan makanan. Gunakan piring dengan ukuran tidak lebih dari 9 inci dan isi hanya satu kali.
4. Nikmati Sedikit Demi Sedikit
Gunakan gigitan kecil dan kunyah hingga tuntas. Praktik ini dapat membantu Anda memperlambat waktu makan dan menikmati cita rasa makanan secara penuh.
5. Makan Perlahan
Dengan makan perlahan, Anda akan lebih mudah mengenali kapan merasa kenyang. Saat merasa 80 persen kenyang, berhentilah makan.
6. Jangan Lewatkan Waktu Makan
Melewatkan waktu makan dapat meningkatkan risiko rasa lapar yang parah. Hal ini dapat membuat Anda memilih makanan cepat saji yang tidak sehat. Oleh karena itu, mengatur waktu makan dapat membantu Anda menikmati makanan dengan lebih baik.
7. Mulailah Mengonsumsi Makanan Nabati
Makanan nabati dapat membantu menjaga kesehatan Anda. Sebab, daging olahan dan lemak jenuh dapat meningkatkan risiko kanker usus besar dan penyakit jantung. Selain itu, produksi pangan hewani juga berdampak buruk pada lingkungan.