“Sosok yang berpengaruh dalam Tim Kerja Strategis (TKS) pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Bahlil Lahadalia, mencurigai gelombang kritikan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi oleh sivitas akademika dari berbagai universitas. Bahlil menduga ada skenario tertentu yang dibuat untuk menyerang Jokowi melalui kritikan tersebut.
Bahlil yang pernah aktif di lembaga kemahasiswaan mengungkapkan bahwa ia memiliki “penciuman” sebagai mantan Ketua BEM. Namun, ia tidak merinci skenario apa yang dicurigainya. “Ini adalah skenario yang saya pahami sebagai mantan aktivis. Kecuali jika kita dulu kutu buku, kita besar di jalan,” kata Bahlil di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (5/2/2024).
Bahlil menegaskan bahwa pemerintah menghargai pendapat setiap orang, termasuk dari kalangan kampus. Namun, ia juga menekankan bahwa setiap komentar harus didasarkan pada fakta dan bukti yang valid. Ia juga mengingatkan agar kampus tetap menjaga marwahnya. Bahlil menyoroti beberapa foto yang menunjukkan anggota kampus yang seharusnya independen, namun terlihat mengangkat jari untuk salah satu calon.
Beberapa sivitas akademika dari berbagai universitas telah mengeluarkan sikap atas tindakan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024. Mereka menilai Jokowi telah melanggar etika sebagai Kepala Negara. Salah satu yang bersuara adalah sivitas akademika dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Dengan kompak, mereka mengeluarkan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).
Petisi ini dibacakan oleh Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Prof Koentjoro, yang didampingi oleh sejumlah perwakilan guru besar. Koentjoro menyampaikan keprihatinan sivitas akademika UGM terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara yang menyimpang dari prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial. Menurut Koentjoro, tindakan-tindakan tersebut terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, yang juga merupakan bagian dari keluarga besar UGM. Hal ini terlihat dari kasus pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK) dan keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan.
Pernyataan Presiden Jokowi yang kontradiktif tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye juga menjadi sorotan sivitas akademika UGM. Pernyataan tersebut dinilai tidak sesuai dengan netralitas. “Keberpihakan presiden merupakan wujud ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” ungkap Koentjoro.