Jakarta – Kebijakan harga gas murah yang dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) perlu segera dievaluasi. Sebab kebijakan tersebut telah berdampak pada keuangan negara dan kemungkinan menurunkan minat investasi di sektor hulu migas. Selain itu, sektor industri yang menerima manfaat dari harga gas subsidi ini juga tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian.
“HGBT merupakan kebijakan yang bersifat protektif atau defensif pada masa pandemi untuk melindungi 7 industri yang dianggap membutuhkannya. Namun, perlu dievaluasi melalui penelitian apakah kebijakan tersebut benar-benar dapat meningkatkan daya saing industri yang menerimanya,” kata Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin, pada Kamis (22/2/2024).
Saat ini, ada 7 sektor industri yang menikmati HGBT, yaitu sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Semua sektor ini mendapatkan pasokan gas dengan harga USD6 per MMBTU, yang lebih rendah dari harga pasar.
Eddy menjelaskan bahwa diperlukan penelitian untuk mengetahui dampak dari kebijakan HGBT tersebut. Hal ini penting untuk menentukan apakah program ini masih layak dilanjutkan atau perlu dihentikan.
“Dampaknya hanya berdampak pada perlindungan dan pertahanan berbagai industri yang dituju. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar meningkatkan daya saing industri, hal ini hanya dapat dijawab melalui penelitian kuantitatif yang mempertimbangkan berbagai faktor lainnya,” tambahnya.
Menurut Lembaga Kajian Energy Reforminer Institute, pemerintah telah kehilangan penerimaan PNBP dari gas sebesar Rp 30 triliun akibat subsidi harga gas sejak tahun 2020.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa sampai tahun 2022, pemerintah akan kehilangan penerimaan sebesar Rp 29,39 triliun akibat HGBT. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan bahwa kehilangan penerimaan tersebut terjadi di sektor hulu minyak dan gas bumi.
Hal ini disebabkan oleh penyesuaian harga gas bumi setelah mempertimbangkan bagi hasil produksi migas antara pemerintah dan kontraktor. “Terkait penurunan penerimaan negara dari HGBT ini, pemerintah harus membayar 46,81 persen atau 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau 12,93 triliun pada tahun 2022,” kata Tutuka tahun lalu.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak, mengatakan bahwa faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah keseimbangan di industri migas. Meskipun HGBT memberikan manfaat bagi sektor industri, namun kebijakan ini dapat menekan industri hulu migas (upstream), tengah migas (midstream), dan hilir migas (downstream) sebagai penyalur.
Terlebih lagi, saat ini perekonomian Indonesia sudah mulai pulih dari krisis akibat pandemi. “Untuk kondisi saat ini yang sudah normal dan pertumbuhan ekonomi yang terjaga, serta tidak ada tujuan khusus akibat darurat pandemi, maka sudah saatnya untuk meninjau kembali kebijakan HGBT dan menyelaraskannya dengan program transisi energi yang adil dan berkelanjutan,” jelasnya.
Ali juga menambahkan bahwa keberlanjutan bisnis migas dari hulu hingga hilir harus dijaga agar rantai pasok berjalan lancar. “Bagi sektor di atasnya (upstream dan midstream), kebijakan ini dapat menimbulkan masalah besar karena harga tidak sesuai dengan mekanisme pasar,” tegasnya.
Ditambah lagi, fakta bahwa serapan gas HGBT tidak mencapai 100 persen dari total alokasi yang disampaikan oleh Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi. Total alokasi gas untuk HGBT di tahun 2023 adalah 2.541 billion british thermal unit per day (BBTUD). Namun, realisasi penyerapan baru mencapai 1.883 BBTUD atau sekitar 74 persen.
“Realisasi penyerapan gas HGBT tahun 2023 hanya mencapai 74 persen dari alokasi yang ditetapkan dalam Kepmen ESDM. Namun, data ini belum diaudit. Untuk industri yang menggunakan gas seperti listrik dan pupuk, data ini belum dapat disampaikan karena masih dalam proses rekonsiliasi,” jelasnya.
Kurnia juga menekankan bahwa kebijakan HGBT harus dipertimbangkan secara serius karena dapat menekan sektor hulu migas. Meskipun SKK Migas mendukung HGBT untuk memberikan nilai tambah dan produktivitas bagi industri dalam negeri, namun kebijakan ini harus tetap mempertimbangkan keekonomian sektor hulu migas agar tetap menarik bagi investasi.
“Hal ini harus dilakukan dengan menjaga keseimbangan di sektor hulu migas agar tetap menarik bagi investasi. Kebijakan ini harus mempertimbangkan kepentingan jangka panjang,” tambahnya.
Terakhir, Ali menyoroti bahwa serapan gas HGBT tidak mencapai 100 persen dari alokasi yang disediakan. Hal ini menurutnya harus menjadi perhatian serius karena menunjukkan bahwa kebijakan HGBT belum berjalan dengan baik. “Serapan gas HGBT yang belum mencapai 100 persen menunjukkan bahwa kebijakan ini belum berjalan dengan baik. Hal ini harus menjadi perhatian serius agar kebijakan ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian negara,” pungkasnya.