Meski usianya telah menginjak 71 tahun, Maria Catarina Sumarsih masih tetap tegar berdiri di depan Istana Negara, Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, pada hari Kamis (7/3/2024). Ia tak kenal lelah untuk mengikuti aksi Kamisan yang bertujuan untuk meminta keadilan kepada presiden atas dosa negara di masa lalu, terutama kasus pelanggaran HAM.
Kehilangan anaknya, Bernadinus Realino Norma Irawan alias Wawan, dalam Peristiwa Semanggi 1 saat gelora reformasi terjadi, membuat Sumarsih semakin giat dalam mencari keadilan. Wawan gugur tertembak peluru tajam di bagian jantung dan paru-paru sebelah kiri, namun hingga kini tidak ada kejelasan mengenai pelaku pembunuhan tersebut.
Tidak terpengaruh oleh usia dan waktu, Sumarsih tetap setia bersama kelompok masyarakat sipil lainnya untuk terus memperjuangkan keadilan atas pelanggaran HAM yang dialami oleh anaknya. Namun, setelah 17 tahun berjuang, tahun ini mungkin menjadi tahun yang mengecewakan bagi Sumarsih.
Pasalnya, harapan untuk membuka kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu terkubur setelah Presiden Joko Widodo memberikan pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi calon presiden RI. Prabowo sendiri telah diakui oleh Presiden Jokowi sebagai pelanggar HAM berat pada tanggal 11 Januari 2023 lalu.
“Prabowo adalah pelanggar HAM berat dan hal ini telah diakui oleh Presiden Jokowi sendiri,” ujar Sumarsih saat berada di Silang Monas dalam Aksi Kamisan, Kamis (8/3/2024).
Menurut Sumarsih, hal ini juga terbukti dengan beredarnya surat dari Dewan Kehormatan Perwira yang memecat Prabowo, serta video pemecatan Prabowo dari kopasus. Ia merasa kecewa dengan sikap Presiden Jokowi yang memberikan pangkat kehormatan kepada Prabowo, yang sangat bertentangan dengan klaimnya sebagai presiden yang lahir dari reformasi.
“Jokowi dikatakan lahir dari reformasi, tapi kenyataannya ia malah melindungi pelanggar HAM. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita reformasi yang seharusnya memberantas KKN,” tegasnya.
Sumarsih juga menilai bahwa kondisi saat ini tidak jauh berbeda dengan masa orde baru, dimana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin merajalela. Hal ini sangat bertentangan dengan salah satu tujuan dari reformasi tahun 1998, yaitu memberantas KKN.
Selain itu, adanya penggerudukan kantor-kantor LSM yang selama ini menyuarakan kritik terhadap pemerintahan saat ini, juga menunjukkan gejala yang sama dengan masa orde baru.
“Salah satu tujuan reformasi adalah memberantas KKN, namun kini KKN justru semakin marak. Bahkan, serangan-serangan terhadap kantor LSM juga masih terjadi seperti yang dialami oleh KontraS, ICW, dan LSM lainnya,” tutup Sumarsih.